pituturtulis.com - Ujub dan Dengki acap kali hinggap dalam hati seseorang. Besar kepala saat memperoleh anugerah dari Allah terkadang berujung pada kesombongan hingga membuat seseorang itu tak dapat menyadari jika Allah lah yang menurunkan anugerah tersebut. Ada pun juga, rasa tidak senang ketika seseorang mendapatkan nikmat. Kedua penyakit ini mesti kita buang dari diri kita (1).
Ujub dan Dengki menyerang siapa pun, apa pun profesi dan kedudukannya. suatu contoh kasus dalam dunia bisnis, maka ujub dan dengki akan menyerang dengan menanamkan kebanggaan bahwa keberhasilannya berbisnis seluruhnya karena kerja kerasnya, kemudian muncul sifat sombong dalam dirinya, juga ketika melihat orang lain mendapatkan hasil yang lebih dari dirinya, maka ia pun "tertantang" jika ada yang melebihi kesuksesannya atau mungkin juga iri dan mendengki.
Sifat ujub dan dengki juga kerap mengintai hati seorang yang sedang menuntut ilmu. Rasa dengki sering hinggap ketika temannya memiliki kecerdasan yang lebih dibanding dirinya, juga sifat ujub kerap hadir ketika dirinya memiliki bakat dan kepintaran yang melebihi teman-temannya, sehingga sifat takabbur pun tumbuh dalam hatinya.
Diantara isi kitab Imam an-Nawawi at-Tibyân fî Adâb Hamalati al-Qur`an telah memperingati orang-orang yang menuntut ilmu supaya tidak dijangkiti kedua sifat ini. Beliau mengatakan:
وَمِمَّا يَجِبُ عَلَيْهِ وَيَتَأَكَّدُ الْوَصِيَّةُ بِهِ أَنْ لَا يَحْسُدَ أَحَدًا مِنْ رُفْقَتِهِ أَوْ غَيْرِهِمْ عَلَى فَضِيْلَةٍ رَزَقَهُ اللهُ الكريم إِيَّاهَا وَأَنْ لَا يُعْجَبَ بِنَفْسِهِ بِمَا حَصّلَهُ، وَقَدْ قَدَّمْنَا إِيْضَاحَ هَذَا فِي آدَابِ الشَّيْخِ
“Di antara sesuatu yang wajib dan wasiat yang ditekankan yaitu tidak iri hati kepada kawannya atau yang lainnya atas anugerah yang Allah berikan kepadanya. Dan tidak bangga diri dengan apa yang ia hasilkan. Kami telah kemukakan penjelasan ini dalam bab adab kepada guru.” (Imam an-Nawawi, at-Tibyân fî Adâb Hamalati al-Qur`ân, Dar el-Minhaj, halaman 70).
Setelah mengingatkan seorang yang menuntut ilmu agar menjauhi kedua sifat ini, Imam an-Nawawi pun memberi isyarat untuk memusnahkan rasa dengki dan ujub.
وَطَرِيْقُهُ فِي نَفْيِ الْعُجْبِ: أَنْ يُذَكِّرَ نَفْسَهُ أَنَّهُ لَمْ يُحَصِّلْ مَا حَصَّلَ بِحَوْلِهِ وَقُوِّتِهِ وَإِنَّمَا هُوَ فَضْلٌ مِنَ اللهِ وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يُعْجَبَ بِشَيْءٍ لَمْ يَخْتَرِعْهُ وَإِنَّمَا هُوَ فَضْلٌ مِنَ الله تَعَالَى.
“Cara menghilangkan kebanggaan ialah dengan mengingatkan dirinya bahwa dia tidak mencapai hal itu dengan daya dan kekuatannya. Namun itu merupakan anugerah dari Allah, dan tidak patut baginya untuk berbangga karena sesuatu yang tidak diciptakannya, semata-mata itu merupakan anugerah dari Allah.” (Imam an-Nawawi, at-Tibyân fî Adâb Hamalati al-Qur`ân, Dar el-Minhaj, halaman 70)
وَطَرِيْقُهُ فِي نَفْيِ الْحَسَدِ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ حِكْمَةَ اللهِ تَعَالَى اقْتَضَتْ جَعْلَ هَذِهِ الْفَضِيْلَةِ فِي هَذَا، فَيَنْبَغِي أَنْ لَا يَعْتَرضَ عَلَيْهَا وَلَا يَكْرَهَ حِكْمَةً أَرَادَهاَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكْرَهْهَا. وَاللهُ أَعْلَمُ.
“Cara menghilangkan sifat iri yaitu dengan menyadari bahwa hikmah Allah lah yang menghendaki adanya karunia tersebut, maka patutnya ia tidak menyanggah dan membenci hikmah yang telah Allah kehendaki dan tidak Allah benci. Wallahu a’lam…”
Penjelasan Imam an-Nawawi diatas setidaknya dapat sebagai obat lupa diri kita untuk mencegah masuknya dengki dan ujub ke dalam hati. akui hati kita sedang mengalami kekeliruan jika ada salah satu unsur diatas, lekas-lekaslah memohon ampunan.