pituturtulis - Al-Muhasibi adalah salah seorang mistikus yang hidup sekitar abad ke-2 hingga ke-3 Hijriah. Al-Muhasibi dalam bukunya yang berjudul “al-ri’ayah li huquq Allah” membahas perbedaan bisikan hati pada manusia.
BIOGRAFI AL MUHASIBI
Al-Muhasibi adalah seorang ulama yang saleh dan berprestasi. Abu Abdullah al-Hariths bin Asad bin Maqil al-Hamdani al-Muhasibi lahir di Basra tahun 165 H/781 M dikenal karena pengalamannya di wilayah tersebut sebagai sufi Fikih dan Sunnah.
Setelah pindah ke kota Bagdad, keahliannya dipelajari secara ekstensif oleh banyak tokoh terkemuka. Misalnya, dalam bidang ilmu fiqih ia belajar pada Imam Syafi'i, Abu Ubaid Qasimi bin Salam dan Qadli Yusuf Abu Yusuf. Selama periode ini, ia belajar ilmu hadits dari Shurayh bin Yunus, Yazid bin Haran, Abu al-Nadar dan Suwayd bin Dawood. Wawasan dan pemahamannya yang luas juga menarik banyak perhatian terhadap kondisi aktual dan perkembangan wilayah Baghdad, mulai dari dinamika perkembangan politik dan sosial hingga diskusi atau perbedaan pendapat teologis.
Ia khawatir dengan berbagai pendapat yang dikemukakan oleh Mu'tazilah, Syi'ah, Khawarij, Jabariyya dan Khatariyya. Berdasarkan pengamatannya terhadap kelompok ini, ia berkesimpulan bahwa latar belakang utama sebagian besar anggota kelompok tersebut bukanlah dunia akhirat, melainkan kesombongan dan motif duniawi.
Dari titik awal ini, al-Muhasibi memutuskan untuk terjun ke dunia tasawuf dan memilih mengasingkan diri dari keduniaan. Mengenai kajian dan pengamalan tasawuf, al-Muhasibi mengemukakan berbagai konsep dan teori. Salah satunya adalah ketakutan (al-khauf) dan harapan (raja’). Kedua teori tersebut merupakan fondasi penting untuk introspeksi. Dan keduanya bisa dilakukan dengan sempurna jika berpegang teguh pada Al-Qur'an dan As-Sunnah, terutama tafsir dan otoritas ayat-ayat yang menekankan janji dan ancaman.
Konsep Khawf dan Raja' itulah yang kemudian membuat al-Muhasibi terkenal di kalangan sufi pada masanya, bahkan menjadi inspirasi berharga bagi para pencari hikmah di masa depan sebagai penerus berharga pemimpin sufi yang wafat pada usia 78 tahun 242/895 Masehi di kota Bagdad.
Al-Muhasibi mengajukan pertanyaan retoris di awal pernyataannya:
Apa itu bisikan? Apakah bisikan itu? Dari mana datangnya bisikan ini dan mendapat tempat di hati manusia? Menurutnya, setidaknya ada tiga macam bisikan yang bisa menembus hati. Urutannya adalah bisikan Allah SWT, Nafsu dan Setan.
Pertama, Bisikan Nafsu. Bisikan ini bersifat menarik hasrat dan atau hati tergoda untuk mengabulkan keinginan. Namun perlu diperhatikan bahwa bukan berarti nafsu itu selalu terkait hal buruk. Hanya saja perlu diatur untuk diikuti sesuai kebutuhan (di tengah-tengah). Karena jika kekurangan itu buruk, kelebihan juga buruk. Misal saking penginnya sepeda motor, jika tidak bisa mengatur nafsu yang berlebihan angan akan tergoda mencuri atau merampok jika mampu meredam, dengan cara sabar atau menabung dan lain sebagainya.
Kedua, setan. Bisikan ini menipu, yang sebenarnya jelek ternyata seolah baik atau mungkin contoh lain menghalalkan cara yang dilarang oleh aturan. bisikan setan dapat menjerumuskan manusia ke dalam kejahatan dan perbuatan jahat. Misalnya, bisikan, “tidak ada waktu cukup untuk belajar, solusi terakhir adalah mencontek saat ujian biar lulus nilai bagus, bisa membahagiakan orang tua dapat pahala Daripada gagal malah jadi beban malu keluarga”.
Ketiga, Tuhan. Bisikan ini kategori hidayah yaitu berupa tuntunan menuju kebaikan atau keselamatan. Berbeda dengan bisikan nafsu yang dipenuhi kepuasan, atau bisikan setan yang pada akhirnya berujung terjerumus tipu muslihat setan, bisikan Tuhan selaras akal sehat dan berujung pada keselamatan atau kebaikan.
Al-Muhasibi mengutip beberapa ayat Al-Qur'an yang dijadikan dasar untuk mengenal bisikan Nafsu, antara lain
QS. Yusuf: 18
وَجَاۤءُوْ عَلٰى قَمِيْصِهٖ بِدَمٍ كَذِبٍۗ قَالَ بَلْ سَوَّلَتْ لَكُمْ اَنْفُسُكُمْ اَمْرًاۗ فَصَبْرٌ جَمِيْلٌ ۗوَاللّٰهُ الْمُسْتَعَانُ عَلٰى مَا تَصِفُوْنَ
Dan mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) darah palsu. Dia (Yakub) berkata, “Sebenarnya hanya dirimu sendirilah yang memandang baik urusan yang buruk itu; maka hanya bersabar itulah yang terbaik (bagiku). Dan kepada Allah saja memohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.”
QS. Al-Maida: 30
فَطَوَّعَتْ لَهٗ نَفْسُهٗ قَتْلَ اَخِيْهِ فَقَتَلَهٗ فَاَصْبَحَ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ
30. Maka nafsu (Qabil) mendorongnya untuk membunuh saudaranya, kemudian dia pun (benar-benar) membunuhnya, maka jadilah dia termasuk orang yang rugi.
Q.S. Yusuf: 53
وَمَآ اُبَرِّئُ نَفْسِيْۚ اِنَّ النَّفْسَ لَاَمَّارَةٌ ۢ بِالسُّوْۤءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيْۗ اِنَّ رَبِّيْ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
53. Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Al-Muhasibi yang sering disebut sebagai pendiri psikologi sufi memberikan metode penting berupa muhasabah yang hampir setiap hari kita amalkan untuk mengenali bisikan-bisikan yang masuk. Menurutnya, pengenalan diri menimbulkan dua hasil logis sekaligus, yaitu cara mengenal diri sendiri dan mengenal Tuhan.
Dialog diri perlahan membuka tabir tebal di sekeliling untuk menjelajahi ruang batin yang ada pada diri setiap orang. Amalan ini tentunya akan lebih efektif ketika seseorang berada di bawah bimbingan seorang guru spiritual (mursid).
Dalam buku yang sama, al-Muhasibi membahas pentingnya etika sebagai kepedulian terhadap seseorang dalam kehidupan. Baginya, esensi tasawuf adalah akhlak. Dalam konteks ini, Al-Muhasibi kemudian memaparkan hal-hal yang dapat menyelamatkan sang pencari dalam perjalanan spiritualnya, namun juga hal-hal yang dapat merugikannya.
Al-Harits al-Muhasibi sangat menyukai Penilaian Diri sehingga ia memiliki penjelasan langkah demi langkah tentang Muhasabah, yaitu sebagai berikut.
1. Tentang tubuh
Apakah bahasa kita berbicara atau bahasa kita hari ini? Seberapa penting dan seberapa tak bermakna? Apa yang dilihat mata kita pada layar smartphone dan komputer? Sudahkah kita mengoptimalkan fungsi mata untuk hal-hal yang bermanfaat? Tentang Telinga, mendengar apa sajakah hari ini? Seberapa penting mendengar persoalan yang masuk telinga? Sudahkah Anda memfilter apa yang perlu Anda dengar dan apa yang tidak?
Tentang Tangan, apa yang kamu lakukan dengan tanganmu hari ini? Apa yang dihasilkan oleh tangan hari ini, pekerjaan atau perkara masalah? Kaki kita, kemana kita pergi hari ini? Apakah kita sudah memberikan istirahat yang cukup karena menopang tubuh? Perut, apakah sudah halal apa-apa yang telah kita makan untuk ke perut? Jangan lupakan alat kelamin karena ini merupakan salah satu sumber hawa nafsu yang perlu dikontrol.
2. Ridha Allah
Jika urusan badan sudah beres, maka pertanyaan selanjutnya adalah: menurutmu apakah Allah ridha atau tidak? Kita harus melihat amal apa yang dilakukan tanpa pamrih. Misalnya, apakah rajin tahajud hanya karena akan lulus ujian semester atau calon pegawai negeri?
3. kagum pada diri sendiri
Hal berikutnya yang perlu kita tanyakan pada diri sendiri adalah apakah kita memiliki rasa bangga? Apa yang membuat kita pantas takjub pada diri sendiri?
4. Faktor Kesuksesan
Apakah Anda juga bertanya-tanya tentang kesuksesan yang kita raih sendiri atau dengan bantuan Tuhan? Adakah yang bisa kita lakukan jika Allah tidak memberikan Taufiq-Nya meskipun kita telah memiliki kekuatan sumber daya
5. Memotivasi
Pertanyaan selanjutnya pada tingkat yang lebih tinggi, apakah motivasi dari segalanya hanya untuk Allah? Tingkat ini berarti meninggalkan berbagai kecenderungan duniawi.
6. Perasaan Mulia
Terakhir, tanyakan ke dirimu: Apakah semua yang kita lakukan menciptakan sebuah rasa bahwa diri kita menjadi mulia di muka bumi?