Tokoh Wali Allah bernama Abul Hasan Sari as-Saqati adalah nama sufi legendaris yang tidak diketahui kapan dan dimana lahirnya, beberapa sumber mengatakan ia wafat pada tahun 253 H/867 M di usia 98 tahun. Petunjuk yang jelas adalah beliau ini murid dari Ma'ruf al Kharki merupakan paman dari Junaid al Bagdadi dari pihak ibu. Garis keturunannya tentulah bukan sembarangan, Selain itu kiprahnya menyuguhkan ajaran sufi sangat populer di negara Irak karena kealimannya di bidang ilmu agama terutama ilmu tasawuf telah berhasil mencetak ulama-ulama besar di Bagdad.
Sari as-Saqati dikenal sebagai pelaku sufi yang memiliki totalitas tinggi dalam jalannya mengenal Tuhan, beliau adalah seorang mukminin yang disiplin ibadahnya hingga berprinsip tidak sudi memasukkan perkara duniawi dalam hatinya. Sekalinyapun ia berprofesi sebagai pedagang, ia tidak ingin waktu ibadahnya terganggu dengan urusan perdagangannya.
Berikut 5 kisah hikmah Jalan sufi Sari as Saqati:
1. Bukti bahwasanya Sari As Saqati sungguh tidak silau akan dunia, pernah suatu ketika sari as Saqati menyumbangkan semua dagangannya dan seluruh hasil jualannya untuk membantu fakir miskin hal ini ia lakukan karena Sari as Saqati tidak ingin terlena dengan harta dagangan dan berusaha membatasi diri dalam perkara keduniaan.
“Apakah yang menyebabkan engkau menjalani kehidupan spiritual ini”, seseorang bertanya kepada Sari. Sari menjawab:
“Pada suatu hari Habib ar-Ra’i lewat di depan tokoku. Kepadanya kuberikan sesuatu untuk disampaikan kepada orang-orang miskin. ‘Semoga Allah memberkahi engkau’, Habib ar-Ra’i mendoa-kan diriku. Setelah ia mengucapkan doa itu dunia ini tidak menarik hatiku lagi”.
“Keesokan harinya datanglah Ma’ruf Karkhi beserta seorang anak yatim. ‘Berikanlah pakaian untuk anak ini’, pinta Ma’ruf kepadaku. Maka anak itu pun kuberi pakaian. Kemudian Ma’ruf berkata: ‘Semoga Allah membuat hatimu benci kepada dunia ini dan membebaskanmu dari pekerjaan ini’. Karena kemakbulan doa Ma’ruf itulah aku dapat meninggalkan semua harta kekayaanku di dunia ini”.
2. Diriwayatkan, di dalam berdagang itu Sari tidak pernah menarik keuntungan melebihi lima persen. Pada suatu ketika Sari membeli buah-buahan badam seharga enam puluh dinar. Pada waktu harga buah badam sedang naik, seorang pedagang perantara datang menemui Sari.
“Buah-buah badam ini hendak kujual”, Sari berkata kepadanya. “Berapakah harganya?”, tanya si perantara. “Enam puluh enam dinar”.
“Tetapi harga buah badam pada saat ini sembilan puluh dinar”, si perantara berkeberatan.
“Sudah menjadi peraturan bagi diriku untuk tidak menarik keuntungan lebih dari lima persen “, jawab Sari, “dan aku tidak akan melanggar peraturan sendiri”.
“Dan aku pun tidak merasa pantas untuk menjual barang-barangmu dengan harga kurang dari sembilan puluh dinar”, sahut si pedagang perantara. Akhirnya si perantara tidak jadi menjualkan buah-buahan Sari.
3. Sari dan Seorang Anggota Istana
Pada suatu hari ketika Sari sedang memberikan ceramah. Salah seorang di antara sahabat-sahabat intim khalifah, Ahmad Yazid si Jurutulis lewat dengan pakaian kebesaran yang megah diiringi oleh para hamba dan pelayan-pelayannya.
“Tunggulah sebentar, aku hendak mendengarkan kata-katanya”, kata Yazid kepada para pengiringnya. “Kita telah mengunjungi berbagai tempat yang membosankan dan yang seharusnya tak perlu kita datangi”. Ahmad Yazid pun masuk dan duduk mendengarkan ceramah Sari.
Sari berkata: “Di antara kedelapan belas ribu dunia itu tidak ada yang lebih lama daripada manusia, dan di antara semua makhluk ciptaan Allah tidak ada yang lebih mengingkari Allah daripada manusia. Jika ia baik maka ia terlampau baik sehingga malaikat-malaikat sendiri iri kepadanya. Jika ia jahat maka ia terlampau jahat sehingga syaithan sendiri malu untuk bersahabat dengannya. Alangkah mengherankan, manusia yang sedemikian lemah itu masih mengingkari Allah yang sedemikian perkasa!”
Kata-kata ini bagaikan anak panah yang dibidikkan Sari ke jantung Ahmad. Ahmad menangis dengan sedihnya [sehingga ia tak sadarkan diri. Setelah sadar] ia masih menangis Ahmad bangkit dan pulang ke rumahnya. Malam itu tak sesuatu pun yang dimakannya dan tak sepatah kata pun yang diucapkannya.
Keesokan harinya dengan berjalan kaki, ia pun pergi pula ke tempat Sari berkhotbah. Ia gelisah dan pipinya pucat. Ketika khotbah selesai ia pun pulang. Di hari yang ketiga, ia datang berjalan kaki, ketika ceramah selesai ia menghampiri Sari.
“Guru”, ucap Ahmad. Kata-katamu telah mencekam hatiku dan membuat hatiku benci terhadap dunia ini. Aku ingin meninggalkan dunia ini dan mengundurkan diri dari pergaulan ramai. Tunjukkanlah kepadaku jalan yang ditempuh para khalifah”.
“Jalan manakah yang engkau inginkan”, tanya Sari. “Jalan para sufi atau jalan hukum? Jalan yang ditempuh orang banyak atau jalan yang ditempuh oleh manusia-manusia pilihan?”
“Tunjukkanlah kedua jalan itu kepadaku”, Yazid meminta kepada Sari, Maka berkatalah Sari:
“Inilah jalan yang ditempuh orang banyak. Lakukanlah shalat lima kali dalam sehari di belakang seorang imam, dan keluarkanlah Zakat ”jika dalam bentuk uang, keluarkanlah setengah dinar dari setiap dua puluh dinar yang engkau miliki. Dan inilah jalan yang ditempuh oleh manusia-manusia pilihan, berpalinglah dari dunia ini dan janganlah engkau terperosok ke dalam perangkap-perangkap-nya. Jika kepadamu hendak diberikan sesuatu, janganlah terima. Demikianlah kedua jalan tersebut”.
Yazid meninggalkan tempat itu dan mengembara ke padang belantara. Beberapa hari kemudian seorang perempuan tua yang berambut kusut dengan bekas-bekas luka di pipinya datang menghadap Sari dan berkata:
“Wahai imam kaum Muslimin. Aku mempunyai seorang putera yang masih remaja dan berwajah tampan. Pada suatu hari ia datang untuk mendengarkan khotbahmu dengan tertawa-tawa dan langkah-langkah yang gagah tetapi kemudian pulang dengan menangis dan meratap-ratap. Sudah beberapa hari ini ia tidak pulang dan aku tidak tahu kemana perginya. Hatiku sedih karena berpisah dari dia. Tolong, lakukanlah sesuatu untuk diriku”.
Permohonan wanita tua itu menggugah hati Sari. Maka berkatalah ia: “Janganlah berduka. Ia dalam keadaan baik. Apabila ia kembali, niscaya engkau akan kukabarkan. Ia telah meninggalkan dan berpaling dari dunia ini. Ia telah bertaubat dengan sepenuh hatinya”.
Beberapa lama telah berlalu. Pada suatu malam, Ahmad kembali kepada Sari. Sari memerintahkan kepada pelayannya, “Kabarkanlah kepada ibunya”. Kemudian ia memandang Ahmad. Wajahnya pucat, tubuhnya lemah, dan badannya yang jangkung kokoh bagaikan pohon cemara itu telah bungkuk.
“Wahai guru yang budiman”, Ahmad berkata kepada Sari, “karena engkau telah membimbingku ke dalam kedamaian dan telah mengeluarkan aku dari kegelapan, aku berdoa semoga Allah memberikan kedamaian dan menganugerahkan kebahagiaan kepadamu di dunia dan di akhirat”.
Mereka sedang asyik berbincang-bincang ketika ibu dan isteri Ahmad masuk. Mereka juga membawa puteranya yang masih kecil. Ketika si ibu melihat Ahmad yang sudah berubah sekali keadaannya ia pun menubruk dada Ahmad. Di kiri kanannya isterinya yang meratap-ratap dan anaknya yang menangis tersedu-sedu. Semua yang menyaksikan kejadian ini ikut terharu dan Sari sendiri pun tidak dapat menahan air matanya. Si anak merebahkan diri ke haribaan ayahnya. Tetapi betapa pun juga mereka membujuk, Ahmad tidak mau pulang ke rumah.
“Wahai Imam kaum Muslimin”, Ahmad berseru kepada Sari, ”mengapakah engkau mengabarkan kedatanganku ini kepada mereka? Mereka inilah yang akan meruntuhkan diriku”.
Sari menjawab: “Ibumu terus menerus bermohon sehingga akhirnya aku berjanji untuk mengabarkan kepadanya apabila engkau datang”.
Ketika Ahmad bersiap-siap hendak kembali ke padang pasir isterinya meratap: “Belum lagi mati, engkau telah membuatku jadi janda dan puteramu jadi yatim. Jika ia ingin bertemu dengan engkau apakah yang akan kulakukan? Tidak ada jalan lain, bawalah anak ini olehmu”.
“Baiklah”, jawab Ahmad.
Pakaian indah yang sedang dikenakan anaknya itu dilepaskannya dan digantinya dengan bulu domba.
Kemudian ditaruhnya sebuah kantong uang ke tangan anak itu dan berkatalah ia kepada anaknya itu:
“Sekarang, pergilah engkau seorang diri”
Melihat hal ini si isteri menjerit: “Aku tidak sampai hati membiarkannya”, dan anak itu ditariknya ke dalam dekapannya.
“Aku memberikan kuasa kepadamu”, kata Ahmad kepada isterinya, “jika engkau menginginkan, untuk menuntut perceraian”.
Maka kembalilah Ahmad ke padang belantara. Bertahun-tahun telah berlalu. Kemudian pada suatu malam, pada waktu shalat Isya, seseorang mendatangi Sari di tempat kediamannya. Orang itu berkata kepada Sari:
“Ahmad mengutus aku untuk menjumpai engkau. Ia berpesan: ‘Hidupku hampir berakhir. Tolonglah aku”.
Sari pergi ke tempat Ahmad. Ia menemukan Ahmad yang sedang terbaring di atas tanah di dalam sebuah pemakaman. Ia sedang menantikan saat-saat terakhirnya. Lidahnya masih bergerak-gerak. Sari mendengar bahwa Ahmad sedang membacakan ayat yang ber-bunyi: “Untuk yang seperti ini bekerjalah wahai para pekerja”. Sari mengangkat kepalanya dari atas tanah, mengusapkan dan mendekapkan ke dadanya. Ahmad membuka matanya, terlihatlah oleh-nya sang syeikh, dan berkatalah ia:
“Guru, engkau datang tepat pada waktunya. Hidupku akan berakhir sesaat lagi”. Sesaat kemudian ia menghembuskan napasnya yang terakhir. Sambil menangis Sari kembali ke kota untuk menyelesaikan urusan-urusan Ahmad. Di dalam perjalanan ini ia menyaksikan orang ramai berbondong-bondong berjalan ke arah luar kota.
“Hendak ke manakah kalian?” Sari bertanya kepada mereka,
“Tidak tahukah engkau?”,jawab mereka. “Kemarin malam terdengar sebuah seruan dari atas langit: ‘Barangsiapa ingin menshalatkan jenazah sahabat kesayangan Allah, pergilah ke pemakaman di Syuniziyah!’ “.
4. KEJADIAN NYATA YANG DIALAMI SARI
Junaid meriwayatkan sebagai berikut, Pada suatu hari aku mengunjungi Sari dan kutemui ia sedang mencucurkan air mata. Aku bertanya kepadanya. “Apakah yang telah terjadi?”
Sari menjawab: “Aku telah berniat bahwa malam ini aku hendak menggantungkan sekendi air untuk didinginkan. Di dalam mimpi aku bertemu dengan seorang bidadari. Aku bertanya, siapakah yang memilikinya dan ia menjawab: ‘Aku adalah milik seseorang yang tidak mendinginkan air dengan menggantungkan kendi’. Setelah itu si bidadari menghempaskan kendiku ke atas tanah. Saksikanlah olehmu sendiri!”
Kulihat pecahan-pecahan kendi yang berserakan di atas tanah. Pecahan-pecahan itu dibiarkan saja di situ untuk waktu yang lama.
Dalam kisah lain Junaid meriwayatkan. “Pada suatu malam aku tertidur nyenyak. Ketika aku terjaga, batinku mendesak agar aku pergi ke Masjid Syuniziyah. Maka pergilah aku. Tetapi di depan masjid itu terlihatlah olehku seseorang yang berwajah sangat menakutkan, aku menjadi gentar.
Orang itu menegurku:
“Junaid, takutkah engkau kepadaku?”
“Ya”, jawabku.
“Seandainya engkau mengenal Allah sebagaimana yang seharusnya, niscaya tak ada sesuatu pun yang engkau takutkan selain dari pada Dia”.
“Siapakah engkau?”, aku bertanya.
“Iblis”, jawabnya.
“Aku pernah ingin bertemu dengan engkau”, aku berkata kepadanya.
“Begitu engkau berpikir tentang aku, tanpa engkau sadari, engkau lupa kepada Allah, Apakah maumu untuk bertemu dengan aku?” tanya si Iblis.
“Ingin kutanyakan kepadamu, apakah engkau dapat memperdayakan orang-orang miskin?”
“Tidak”, jawab si Iblis.
“Mengapakah demikian?”
Si Iblis menjawab: “Apabila aku hendak menjerat mereka dengan harta kekayaan dunia, mereka lari ke akhirat. Apabila aku hendak menjerat mereka dengan akhirat, mereka lari kepada Allah, dan di situ aku tidak dapat mengejar mereka lagi”.
“Dapatkah engkau melihat manusia-manusia yang tak dapat engkau perdayakan?”
“Ya, aku melihat mereka”, jawab si Iblis, “dan apabila mereka berada di dalam keadaan ekstase, dapatlah kulihat sumber keluh-kesah mereka itu”.
Setelah berkata demikian, si iblis menghilang. Aku masuk ke dalam masjid dan di sana kudapati Sari yang sedang menekurkan kepala ke atas kedua lututnya.
“Dia telah berdusta, seteru Allah itu”, Sari berkata sambil mengangkat kepalanya. “Manusia-manusia seperti itu terlampau disayang Allah untuk diperlihatkan kepada Iblis”.
5. Sari dan Saudara Perempuannya
Sari mempunyai seorang saudara perempuan yang pernah meminta izin untuk menyapu kamarnya namun ditolaknya. “Hidupku tidak patut diperlakukan seperti itu”, Sari berkata kepada saudara perempuannya itu.
Pada suatu hari ia memasuki kamar Sari dan terlihatlah olehnya seorang wanita tua sedang menyapu. “Sari, dulu engkau tidak mengizinkan aku untuk mengurus dirimu, tetapi sekarang engkau membawa seseorang yang bukan sanak familimu”.
Sari menjawab: “Janganlah engkau salah sangka. Dia adalah penduduk alam kubur. Ia pernah jatuh cinta kepadaku, namun kutolak.
Maka ia meminta izin kepada Allah yang Maha Besar untuk menyertai diriku, dan kepadanya Allah memberikan tugas untuk menyapu kamarku”.